Selasa, 24 April 2012
TINGKAT KESEHATAN BANK MINGGU 4
TINGKAT KESEHATAN BANK
1. PENILAIAN CAPITAL
CAPITAL
Penilaian pertama adalah aspek permodalan, dimana aspek ini menilai permodalan yang
dimiliki bank yang didasarkan :
1. kewajiban penyediaan modal minimum bank (KPMM)
2. Komposisi permodalan
3. Trend ke masa depan / proyeksi KPMM
4. Aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan modal bank
5. Kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari
keuntungan (laba ditahan)
6. Rencana permodalan Bank untuk mendukung pertumbuhan usaha
7. Akses kepada sumber permodalan dan
8. Kinerja keuangan pemegang saham untuk meningkatkan permodalan bank
1. Komponen Kecukupan pemenuhan KPMM dihitung dengan menggunakan rumus :
2. Komponen kedua adalah komposisi permodalan di lihat dengan rumus :
3. Komponen Capital tentang Trend ke depan Proyeksi KPMM dilihat dari angka
pertumbuhan Modal dan ATMR
4. Komponen APYD dibanding dengan modal di hitung dengan rumus
Klasifikasinya adalah :
1. 25% dr Aktiva Produktif dalam perhatian Khusus
2. 50% dr Aktiva Produktif Kurang Lancar
3. 75% dr Aktiva Produktif Diragukan
4. 100% dr Aktiva Produktif Macet
Sistem Informasi Perbankan, Pertemuan Ke-9
Noviyanto, ST Halaman 2
5. Komponen Kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal
dari keuntungan (laba ditahan)
6. Komponen Rencana permodalan untuk mendukung pertumbuhan usaha Jasa dilihat
dari Indikator pendukung seperti persentase rencana pertumbuhan Modal dibandingkan
dengan persentase rencana pertumbuhan Volume Usaha
7. Akses kepada sumber permodalan
Selain itu juga dilihat Profitabilitas Bank yang dihitung dari Return On Asset (ROA)
2. PENILAIAN ASSET
(Aset adalah manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti atau diperoleh atau dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas akibat transaksi atau kejadian masa lalu.)
Dengan makna yang sama, IASC mendefinisi aset sebagai berikut:
An assets is resource controlled by the enterprise as a result of past events and from which future economic benefits are expected to flow to the enterprise.
Dalam Statement of Accounting Concepts No. 4, Australian Accounting Standard Board (AASB) mendefinisi aset sebagai berikut:
Assets are service potential or future economic benefits controlled by the reporting entity as a result of past transaction or other past events.
Definisi FASB dan AASB cukup dibanding definisi yang lain luas karena aset dinilai mempunyai sifat sebagai manfaat ekonomik (economic benefits) dan bukan sebagai sumber ekonomik (resources) karena manfaat ekonomik tidak membatasi bentuk atau jenis sumber ekonomik yang dapat dimasukkan sebagai aset.
Berdasar uraian diatas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga karakteristik utama yang harus dipenuhi agar suatu objek atau pos dapat disebut aset, yaitu:
1. Manfaat ekonomik yang datang cukup pasti
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek harus mengandung manfaat ekonomik di masa datang yang cukup pasti. Uang atau kas mempunyai manfaat atau potensi jasa karena daya belinya atau daya tukarnya. Sumber selain kas mempunyai manfaat ekonomik karena dapat ditukarkan dengan kas, barang, atau jasa, karena dapat digunakan untuk memproduksi barang dan jasa, atau karena dapat digunakan untuk melunasi kewajiban.
2. Dikuasai atau dikendalikan entitas
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek atau pos tidak harus dimiliki oleh entitas tetapi cukup dikuasai oleh entitas. Oleh, karena itu, konsep penguasaan atau kendali lebih penting daripada konsep kepemilikan. Penguasaan disini berarti kemampuan entitas untuk mendapatkan, memelihara/menahan, menukarkan, menggunakan manfaat ekonomik dan mencegah akses pihak lain terhadap manfaat tersebut. Hal ini dilandasi oleh konsep dasar substansi mengungguli bentuk yuridis (substance over form). Pemilikan (ownership) hanya mempunyai makna yuridis atau legal.
3. Timbul akibat transaksi masa lalu
Kriteria ini sebenarnya menyempurnakan kriteria penguasaan dan sekaligus sebagai kriteria atau tes pertama (first-test) pengakuan objek sebagai aset. Aset harus timbul akibat dari transaksi atau kejadian masa lalu adalah kriteria untuk memenuhi definisi. Penguasaan harus didahului oleh transaksi atau kejadian ekonomik. FASB memasukkan transaksi atau kejadian sebagai kriteria aset karena transaksi atau kejadian tersebut dapat menimbulkan (menambah) atau meniadakan (mengurangi) aset. Misalnya perubahan tingkat bunga, punyusutan atau kecelakaan.
3. PENILAIAN MANAGEMENT
Manajemen atau pengelolaan suatu bank akan menentukan sehat tidaknya suatu bank. Mengingat hal tersebut, maka pengelolaan suatu manajemen sebuah bank mendapatkan perhatian yang besar dalam penilaian tingkat kesehatan suatu bank diharapkan dapat menciptakan dan memelihara kesehatannya.
Penilaian faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan bank umum dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terhadap bank yang bersangkutan. Penilaian tersebut dilakukan dengan mempergunakan sekitar seratus kuesioner yang dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu kelompok manajemen umum dan kuesioner manajemen risiko. Kuesioner kelompok manajemen umum selanjutnya dibagi ke dalam sub kelompok pertanyaan yang berkaitan dengan strategi, struktur, sistem, sumber daya manusia, kepemimpinan, budaya kerja. Sementara itu, untuk kuesioner manajemen risiko dibagi dalam sub kelompok yang berkaitan dengan risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko hukum dan risiko pemilik dan pengurus.
4. PENILAIAN EARNING
Salah satu parameter untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Perlu diketahui bahwa apabila bank selalu mengalami kerugian dalam kegiatan operasinya maka tentu saja lama kelamaan kerugian tersebut akan memakan modalnya. Bank yang dalam kondisi demikian tentu saja tidak dapat dikatakan sehat.
Penilaian didasarkan kepada rentabilitas atau earning suatu bank yaitu melihat kemampuan suatu bank dalam menciptakan laba. Penilaian dalam unsur ini didasarkan pada dua macam, yaitu :
1) Rasio Laba terhadap Total Assets (ROA / Earning 1). Rumusnya adalah :
Penilaian rasio earning 1 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio 0 % atau negatif diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap kenaikan 0,015% mulai dari 0% nilai kredit ditambah dengan nilai maksimum 100.
2) Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (Earning 2). Rumusnya adalah :
Penilaian earning 2 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan setiap penurunan sebesar 0,08% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
5. PENILAIAN LIQUIDITY
Likuiditas (Liquidity)
Yaitu penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor likuiditas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
Aktiva likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan dengan pasiva likuid kurang dari 1 bulan
1-month maturity mismatch ratio
Loan to Deposit Ratio (LDR)
Proyeksi cash flow 3 bulan mendatang
Ketergantungan pada dana antar bank dan deposan inti
Kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities management/ALMA)
Kemampuan Bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang, pasar modal, atau sumber-sumber pendanaan lainnya dan stabilitas dana pihak ketiga (DPK).
6. PENILAIAN SENSITIVITY
Yaitu penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor sensitivitas terhadap risiko pasar antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi suku bunga dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga
Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi nilai tukar dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) nilai tukar, dan
Kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar.
Kesehatan atau kondisi keuangan dan non keuangan Bank merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) Bank, masyarakat pengguna jasa Bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan Bank, dan pihak lainnya. Kondisi Bank tersebut dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja Bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko. Perkembangan industri perbankan, terutama produk dan jasa yang semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi Bank. Perubahan eksposur risiko Bank dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko Bank yang selanjutnya berakibat pada kondisi Bank secara keseluruhan.
Perkembangan metodologi penilaian kondisi Bank senantiasa bersifat dinamis sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan Bank harus diatur kembali agar lebih mencerminkan kondisi Bank saat ini dan di waktu yang akan datang. Pengaturan kembali tersebut antara lain meliputi penyempurnaan pendekatan penilaian (kualitatif dan kuantitatif) dan penambahan faktor penilaian.
Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi Bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank. Agar pada waktu yang ditetapkan Bank dapat menerapkan sistem penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, maka perbankan perlu melakukan langkah-langkah persiapan dalam menerapkan sistem tersebut.
TEKNILOGI SISTEM INFORMASI PERBANKAN
a. Perkembangan teknologi komputer di Perbankan
Semakin majunya teknologi di dunia transaksi perbankanpun mulai mengunakan teknologi berbasis komputer untuk mempermudah transaksi dengan nasabah. yang tadinya melayani nasabah dengan harus bertemu / nasabah datang ke cabang2 bank yang disediakan oleh bank yang dia gunakan untuk menabung/infertasi menjadi lebih mudah karena bank mulai mengunakan teknoligi berbasis komputer dan sekarang sudah bisa mengakses lewat internet bahkan dengan mobile “HP” dengan SMS sudah banyak diterapkan bank.
Dalam dunia perbankan, perkembangan teknologi informasi membuat para perusahaan mengubah strategi bisnis dengan menempatkan teknologi sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk dan jasa seperti :
- Adanya transaksi berupa Transfer uang via mobile maupun via teller.
- Adanya ATM ( Auto Teller Machine ) pengambilan uang secara cash secara 24 jam.
- Penggunaan Database di bank – bank.
- Sinkronisasi data – data pada Kantor Cabang dengan Kantor Pusat Bank.
Dengan adanya jaringan computer hubungan atau komunikasi kita dengan klien jadi lebih hemat, efisien dan cepat. Contohnya : email, teleconference.
Sedangkan di rumah dapat berkomunikasi dengan pengguna lain untuk menjalin silaturahmi (chatting), dan sebagai hiburan dapat digunakan untuk bermain game online, sharing file. Apabila kita mempunyai lebih dari satu komputer, kita bisa terhubung dengan internet melalui satu jaringan. Contohnya seperti di warnet atau rumah yang memiliki banyak kamar dan terdapat setiap komputer di dalamnya.
Pada dunia perbankan, perkembangan teknologi informasi membuat para perusahaan mengubah strategi bisnis dengan menempatkan teknologi sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk dan jasa. Seperti halnya pelayanan electronic transaction (e-banking) melalui ATM, phone banking dan Internet Banking misalnya, merupakan bentuk-bentuk baru dari pelayanan bank yang mengubah pelayanan transaksi manual menjadi pelayanan transaksi yang berdasarkan teknologi.
b. Kriteria pemilihan teknologi perangkat lunak perbankan
Lembaga keuangan di Indonesia, termasuk bank, sudah lebih cepat dan intensif dibandingkan sector atau jenis industri lainnya dalam menerapkan teknologi computer dalam memberikan pelayanannya ke nasabah. Jasa-jas ini meliputi pembayaran komputerisasi (pemindahan dana melalui computer dengan fasilitas jaringan komunikasi datanya); jasa penyetoran dan pengambilan dana secara otomatis melalui ATM atau berbagai jenis kartu plastic; homebanking dan internet banking serta fasilitas pelayanan lainnya. Beberapa contoh jenis teknologi computer tersebut diantaranya mesin Automated Teller Machine (ATM), berbagai jenis kartu kredit, Point of sales (POS), electronic fund transfer system, dan otomatisasi kliring.
Fungsi teknologi informasi (TI) telah mengalami perubahan dan perkembangan pesat pada decade terakhir ini. Fungsi TI yang semakin khusus mendorong setiap bank untuk membentuk bagian, departemen, atau unit kerja khusus tersendiri. Walaupun struktur tersebut tergantung pada berbagai factor misalnya skla bisnis dan beban kerja, tetapi unit kerja tersebut mencerminkan 2 aspek kegiatan yaitu aspek pengembangan teknologi dan aspek operasionalnya.
Fasilitas pengolahan data yang tersedia di bank saat ini merupakan hasil kemajuan teknologi dan kebutuhan untuk menjalankan operasi secara sistematis dan baik sesuai dengan aliran masuk dan keluar dana bank. Fasilitas tersebut berfungsi untuk menangani, memilih, menghitung, menyusun, melaporkan, dan mengirimkan informasi. Jadi penggunaan TI di bank dimaksud adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan data kegiatan usaha perbankan sehingga dapat memberikan hasil yang akurat, benar, tepat waktu, dan dapat menjamin kerahasiaan informasi (sesuai peraturan Bank Indonesia).
Fungsi TSI yang tepat tidak terlepas dari criteria pemilihan jenis teknologi yang akan digunakan oleh bank. Sistem aplikasi computer yang digunakan di bidang perbankan harus bisa mengakomodasikan semua kebutuhan bank dan sesuai dengan ketentuan otoritas moneter (salam hal ini adalah Bank Indonesia). Hal ini memerlukan pemilihan software computer mengingat jenis software yang ada dan ditawarkan di pasar relative banyak. Secara umum pemilihan ini berdasarkan kesesuaian antara kapasita bank dengan fasilitas atau kemampuan software yang akan dipilih sehingga investasi yang telah dikeluarkan benar-benar efektif dan memberikan nilai tambah terhadap bank.
Sebagai contoh, Bank yang kapasitasnya relative kecil, misalnya Bank Perkreditan Rakyat atau BPR kurang relevan bila menggunakan system aplikasi computer yang menyediakan fasilitas transaksi dalam valuta asing atau pengelolaan giro. Hal ini menginbgat bahwa BPR tidak boleh melakukan transaksi dalam valuta asing dan tidak ikut dalam lalu lintas pembayaran giral. Penggunaan software tersebut menjadi tidak efisien dan biaya investasinya lebih besar dibandingkan dengan nilai tambah yang dihasilkannya.
Kriteria pemilihan software computer perbankan yang baik sesuai dengan kebutuhan bank secara umum berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut:
1. Kemampuan dokumentasi atau Penyimpanan Data
Jenis dan klasifikasi data bank yang relative banyak harus bisa ditampung oleh software yang akan digunakan, termasuk pertimbangan segi keamanan datanya. Jumlah nasabah serta frekuensi dan jumlah transaksi harian yang besar memerlukan memory computer yang besar, selain memerlukan kecepatan prosesor yang tinggi juga. Sebagai contoh BPR kurang efisien jika menggunakan mesin besar, misalnya AS/400 dalm operasionalnya karena kapasitas dan cakupan geografis BPR biasanya relative kecil.
2. Keluwesan (Flexibility)
Operasional bank selalu berkembang dengan kebutuhan yang berubah-ubah dan mungkin bertambah di kemudian hari walaupun informasi dasarnya tetap sama. Kondisi ini harus bisa diantisipasi oleh perangkat lunak computer sampai batas-batas tertentu. Setiap bank mempunyai system dan prosedur yang mungkin berbeda meskipun data atau informasi dasar yang diolahnya sama. Perangkat lunak computer yang fleksibel dapat digunakan oleh dua bank yang kapasitasnya sama tetapi system dan prosedurnya berbeda.
3. Sistem Keamanan
Sebagai lembaga kepercayaan masyarakat (agent of trusth), bank memerlukan system keamanan yang handal untuk menjaga kerahasiaan data atau keuangan nasabah; serta mencegah penyalahgunaan data atau keuangan oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Software computer perbankan yang baik harus menyediakan fasilitas pengendalian dan pengamanan tersebut.
4. Kemudahan penggunaan (user friendly)
Pengertian mudah dioperasikan bukan berarti setiap pemakai (user) bisa mengakses ke software tersebut tetapi petugas yang memang mempunyai kewenangan mudah mengoperasikan proses yang menjadi tanggung jawabnya. Tahap input, proses, dan output yang dilakukan pada software tersebut tidak menjadi penghambat dalam kegiatan perbankan secara keseluruhan. System aplikasi computer yang baik bahkan dapat mendeteksi kesalahan pengoperasian yaitu dengan memberikan error message dan memberikan petunjuk pemecahan masalahnya.
5. Sistem Pelaporan (Reporting system)
Data atau informasi yang dibutuhkan harus bisa disajikan dalam bentuk yang jelas dan mudah dimengerti. Bank memerlukan laporan-laporan yang lengkap dan jelas tersebut terutama dalam proses pemeriksaan (audit) atau penyajian laporan yang bisa dimengerti oleh pihak-pihak yang berkempentingan dengan harapan keuangan setiap bank menjadi lebih transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.
6. Aspek Pemeliharaan
Kinerja software perbankan diharapkan relative stabil selama bank beroperasi. Kondisi ini memerlukan aspek pemeliharaaan yang baik, dalam arti secara teknis tidak sulit dilakukan dan tidak membutuhkan biaya yang relative mahal. Pemeliharaan ini juga menyangkut pergantian atau perbaikan teknis peralatan dan modifikasi atau pengembangan software.
7. Source Code
Software perbankan biasanya merupakan program paket yang sudah di-compile sehingga menjadi excecutable file. File program tersebut relative tidak bisa dirubah atau dimodifikasi seandainya bank menginginkan perubahan atau fasilitas tambahan dari software tersebut. Kondisi ini bisa diatasi jika pihak bank mempunyai dan memahami software tersevut dalam bentuk bahasa pemrograman aslinya atau source code.
c. Struktur informasi dan hubungan antar sub sistem aplikasi bank
Hubungan antar sub sistem aplikasi pada operasional bank.
Konsep front office yang lebih mendekati sisi nasabah dan konsep back office yang lebih mendekati sisi bank sebagai lembaga keungan yang harus mencatat, mendokumentasikan, dan atau mempublikasikan informasi keuangan, menyebabkan system aplikasi perbankan terdiri dari sub-sub system yang saling berkaitan sesuai dengan tahap-tahap pemrosesan dan jenis-jenis data keuangan. Hubungan tersebut bisa dilihat pada gambar berikut.
SISTEM KLIRING DAN PEMINDAHAN DANA ELEKTRONIK DI INDONESIA
a. Prinsip kliring
Pengertian umum kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar bank baik atas nama Bank maupun nasabah yang hasil perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Penyelenggaraan kliring di Jakarta pada awalnya dilaksanakan secara manual. Namun dalam perkembangannya, sejalan dengan meningkatnya transaksi perekonomian nasional khususnya di Jakarta dimana pada akhir tahun 1989 volume warkat telah mencapai 82.052 lembar warkat perhari dengan jumlah bank peserta mencapai 613 bank. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan kliring secara manual dirasakan tidak efektif dan efisien lagi dan suasana pertemuan kliring yang hiruk pikuk sering kali diibaratkan dengan suasana “pasar burung”.
Melihat kondisi tersebut, Direksi Bank Indonesia dengan SKBI No. 21/9/KEP/DIR tanggal 23 Mei 1988, kemudian menetapkan untuk mengubah sistem penyelenggaraan kliring lokal Jakarta dari sistem manual menjadi sistem otomasi kliring. Meskipun demikian baru pada tanggal 4 Juni 1990 sistem otomasi dapat diimplementasikan untuk memproses kliring penyerahan. Sementara untuk proses kliring pengembalian tetap dilakukan secara manual, sampai kemudian pada tahun 1994 diganti dengan sistem semi otomasi yang kemudian dikenal dengan sebutan SOKL .
Pada tahun 1996 rata-rata volume warkat kliring Jakarta mencapai 216.911 lembar per hari, dengan pertumbuhahan rata-rata dalam tiga tahun sekitar 6%. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya tekanan dalam kegiatan proses warkat kliring baik di bank peserta maupun di Bank Indonesia karena keterbatasan kemampuan sarana kliring yang ada dibandingkan dengan peningkatan jumlah warkat kliring. Pada gilirannya hambatan-hambatan tersebut menyebabkan terjadinya keterlambatan dalam settlement dan penyediaan informasi hasil kliring. Hal ini berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap bank dan merugikan lembaga lain yang terkait serta menimbulkan efek negatif berantai (systemic risk)
b. Informasi pada check dan struktur kode mirc
Dokumen kliring merupakan dokumen kontrol dan berfungsi sebagai alat bantu dalam proses perhitungan kliring yang terdiri dari :
1. Bukti Penyerahan Warkat Debet – Kliring Penyerahan (BPWD);
2. Bukti Penyerahan Warkat Kredit – Kliring Penyerahan (BPWK);
3. Kartu Batch Warkat Debet;
4. Kartu Batch warkat Kredit; dan
5. Lembar Subsitusi.
Setiap warkat dan dokumen kliring yang digunakan wajib memenuhi spesifikasi teknis yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain meliputi kualitas kertas, ukuran, dan rancang bangun. Setiap pembuatan dan pencetakan warkat dan dokumen kliring untuk pertama kali dan atau perubahannya oleh peserta wajib memperoleh persetujuan secara tertulis dari Bank Indonesia Dalam Kliring Elektronik, agar data pada warkat dan dokumen kliring dapat dibaca oleh mesin baca pilah yang ada di Penyelenggara maka warkat dan dokumen kliring tersebut wajib dicantumkan Magnetic Ink Character Recognition (MICR) code line. MICR adalah tinta magnetic khusus yang dicantumkan pada clear band yang merupakan informasi dalam bentuk angka dan simbol.
c. Sistem kliring elektronik di indonesia
Direksi Bank Indonesia dengan SKBI No. 21/9/KEP/DIR tanggal 23 Mei 1988, kemudian menetapkan untuk mengubah sistem penyelenggaraan kliring lokal Jakarta dari sistem manual menjadi sistem otomasi kliring. Meskipun demikian baru pada tanggal 4 Juni 1990 sistem otomasi dapat diimplementasikan untuk memproses kliring penyerahan. Sementara untuk proses kliring pengembalian tetap dilakukan secara manual, sampai kemudian pada tahun 1994 diganti dengan sistem semi otomasi yang kemudian dikenal dengan sebutan SOKL .
Pada tahun 1996 rata-rata volume warkat kliring Jakarta mencapai 216.911 lembar per hari, dengan pertumbuhahan rata-rata dalam tiga tahun sekitar 6%. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya tekanan dalam kegiatan proses warkat kliring baik di bank peserta maupun di Bank Indonesia karena keterbatasan kemampuan sarana kliring yang ada dibandingkan dengan peningkatan jumlah warkat kliring. Pada gilirannya hambatan-hambatan tersebut menyebabkan terjadinya keterlambatan dalam settlement dan penyediaan informasi hasil kliring. Hal ini berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap bank dan merugikan lembaga lain yang terkait serta menimbulkan efek negatif berantai (systemic risk)
Sehubungan dengan itu, sesuai acuan pokok pengembangan sistem pembayaran nasional (Blue Print Sistem Pembayaran Nasional Bank Indonesia;1995) yang antara lain memuat visi, kerangka kebijakan dan langkah-langkah yang perlu dikembangkan dalam menciptakan sistem pembayaran nasional yang lebih efektif, efisien, handal dan aman, maka pada tahun 1996 konsep penyelenggaraan kliring lokal secara elektronik dengan teknologi image mulai dikembangkan oleh Urusan Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia. Pada tanggal 18 September 1998, Bank Indonesia mencatat sejarah baru dalam bidang sistem pembayaran dimana untuk pertama kalinya di Indonesia diresmikan penggunaan Sistem Kliring Elektronik (SKE) oleh Gubernur Bank Indonesia, DR. Syahril Sabirin. Penerapan SKE tersebut dilakukan pada Penyelenggaraan Klring Lokal Jakarta dimana pada awal implementasi, jumlah peserta yang ikut serta masih terbatas 7 bank peserta kliring (BRI, BDN, BII, BCA, Deutsche Bank, Standard Chartered, Citibank) dan 2 peserta intern dari Bank Indonesia (Bagian Akunting Thamrin dan Bagian Akunting Kota). Keikutsertaan kantor-kantor bank dalam Kliring Elektronik dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan teknis masing-masing peserta. Bagi kantorkantor bank yang belum menjadi anggota Kliring Elektronik, perhitungan kliring tetap menggunakan sistem kliring otomasi. Implementasi Kliring Elektronik secara menyeluruh kepada seluruh peserta kliring di Jakarta baru dilaksanakan pada tanggal 18 Juni 2001
d. Bank Indonesia Real Time Gross Settlement(BI-RTGS)
Untuk mendukung efektifitas implementasi kebijakan moneter dan untuk mempercepat pemulihan industri perbankan, kebijakan system pembayaran akan diarahkan untuk mempercepat pengembangan dan implementasi suatu system pembayaran yang efisien, akurat, aman, dan konsisten melalui peningkatan kualitas layanan. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui implemnetasi Real Time Gross Settlement System (BI-RTGS) yang sudah dimulai sejak 17 November tahun 2000 di Jakarta.
Tujuan RTGS:
1. Memberikan pelayanan sistem transfer dana antar peserta, antar nasabah peserta dan pihak lainnya secara cepat, aman, dan efisien
2. Memberikan kepastian pembayaran
3. Memperlancar aliran pembayaran (payment flows)
4. Mengurangi resiko settlement baik bagi peserta maupun nasabah peserta (systemic risk)
5. Meningkatkan efektifitas pengelolaan dana (management fund) bagi peserta melalui sentralisasi rekening giro
6. Memberikan informasi yang mendukung kebijakan moneter dan early warning system bagi pengawasan bank
7. Meningkatkan efisiensi pasar uang
Karakteristik
1. V Shaped Structure
2. Transfer mechanism
3. Window Time
4. No Money No Game
5. Capping
6. Queue Management and Gridlock Resolution
7. Intraday Liquidity Facility
8. Bye-Laws
9. Information Technology Security and Disaster Recovery Plan
10. Future Plan
Mekanisme Transfer
1. Bank pengirim memasukkan transfer kredit ke terminal RTGS yang ada di bank tersebut yang selanjutnya akan dikirim ke RTGS Computer Center (RCC) di Bank Indonesia
2. RCC akan memproses transfer kredit tersebut dengan mekanisme sebagai berikut:
• Memverifikasi apakah saldo rekening bank pengirim lebih besar atau sama dengan jumlah nominal dari transfer kredit tersebut
• Jika saldo tersebut mencukupi, maka proses akan dieksekusi sacara simultan sehingga rekening bank pengirim dikurangi dan rekening bank penerima akan ditambah secara otomatis
• Jika saldo rekening bank pengirim tidak mencukupi makan transfer kredit tersebut akan ditempatkan dalam antrian di dalam mesin RTGS
3. Informasi mengenai transfer kredut akan dikirimkan secara otomatis ke RCC, RTGS terminal bank pengirim, dan bank penerima.
Manajemen Antrian
1. Sistem antrian pada BI-RTGS didasarkan pada priority level and first in first out (FIFO)
2. Modul antrian dalam BI-RTGS dilengkapi dengan bypass FIFO facility yang beroperasi otomatis jika antrian mencapai jumlah tertentu, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah antrian
3. Tingkat prioritas antriannya adalah sebagai berikut:
• Prioritas pertama : Hasil kliring
• Prioritas kedua : Transaksi bank dengan BI/pemerintah
• Prioritas ketiga : Transfer kredit dari bank peserta BI-RTGS
SISTEM PERBANKAN ELEKTRONIK
a. SISTEM PERBANKAN ELEKTRONIK
Inovasi perbankan berbasis teknologi informasi di industri perbankan dewasa ini memberikan dampak efisiensi dan efektivitas yang luar biasa. Sebagai contoh, adanya produk-produk electronic banking seperti ATM, Kartu Kredit, Kartu Debet, Internet Banking, SMS/mobile banking, phone banking, dll, telah mendorong layanan perbankan menjadi relatif tidak terbatas, baik dari sisi waktu maupun dari sisi jangkauan geografis. Hal ini pada gilirannya telah meningkatkan volume dan nilai nominal transaksi keuangan di perbankan secara sangat signifikan.
Berdasarkan data di Bank Indonesia, transaksi elektronik yang dilakukan dengan menggunakan kartu (kartu kredit, kartu debet, ATM, kartu ATM + debet) di Indonesia selama jangka waktu Januari s/d Agustus 2008, jumlah transaksi yang terjadi adalah sebanyak 980,4 juta transaksi dengan nilai nominal transaksi Rp1.463 triliun, dan jumlah kartu yang beredar sebanyak 51,35 juta kartu yang diterbitkan oleh 118 penyelenggara (53 penerbit kartu ATM, 20 penerbit kartu kredit, 38 penerbit kartu ATM+Debet, dan 7 penerbit kartu prabayar)
b. Jenis-jenis E-Banking
Automated teller machine (ATM). Terminal elektronik yang idsediakan lembaga keuangan atau perusahaan lainnya yang membolehkan nasabah untuk melakukan penarikan tunai dari rekening simpanannya di bank, melakukan setoran, cek saldo, atau pemindahan dana.
Computer banking. Layanan bank yang bisa diakses oleh nasabah melalui koneksi internet ke pusat pusat data bank, untuk melakukan beberapa layanan perbankan, menerima dan membayar tagihan, dan lain-lain.
Debit (or check) card. Akrtu yang digunakan pada ATM atau terminal point-of-sale (POS) yang memungkinkan pelanggan memperoleh dana yang langsung didebet (diambil) dari rekening banknya.
Direct deposit. Salah satu bentuk pembayaran yang dilakukan oleh organisasi (misalnya pemberi kerja atau instansi pemerintah) yang membayar sejumlah dana (misalnya gaji atau pensiun) melalui transfer elektronik. Dana ditransfer langsung ke setiap rekening nasabah.
Direct payment (also electronic bill payment). Salah satu bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk membayar tagihan melalui transfer dana elektronik. Dana tersebut secara elektronik ditransfer dari rekening nasabah ke rekening kreditor. Direct payment berbeda dari preauthorized debit dalam hal ini, nasabah harus menginisiasi setiap transaksi direct payment.
Electronic bill presentment and payment (EBPP). Bentuk pembayaran tagihan yang disampaikan atau diinformasikan ke nasabah atau pelanggan secara online, misalnya melalui email atau catatan dalam rekening bank. Setelah penyampaian tagihan tersebut, pelanggan boleh membayar taguhan tersebut secara online juga jika berkenan. Pembayaran tersebut secara elektronik akan mengurangi saldo simpanan pelanggan tersebut.
Electronic check conversion. Proses konversi informasi yang tertuang dalam cek (number rekening, jumlah transaksi, dll) ke dalam format elektronik agar bisa dilakukan pemindahan dana elektronik.
Electronic fund transfer (EFT). Perpindahan “uang” atau “pinjaman” dari satu rekening ke rekening lainnya melalui media elektronik..
Payroll card. Salah satu tipe “stored-value card” yang diterbitkan pemberi kerja sebagai pengganti cek yang memungkinkan pegawainya mengakses pembayaraannya pada terminal ATM atau Point of Sales. Pemberi kerja menambahkan nilai pembayaran pegawai ke kartu tersebut secara elektronik.
Preauthorized debit (or automatic bill payment). Bentuk pembuayaran yang mengizinkan nasabah untuk mengotorisasi pembayaran rutin otomatis yang diambil dari rekening banknya pada tanggal-tangal tertentu dan biasanya dengan jumlah pembayaran tertentu (misalnya pembayaran listrik, tagihan telpon, dll). Dana secara elektronik ditransfer dari rekening pelanggan ke rekening kreditor (misalnya PLN atau PT Telkom).
Prepaid card. Salah satu tipe Stored-value card yang menyimpan nilai moneter di dalamnya dan sebelumnya pelanggan sudah membayar nilai tersebut ke penerbit kartu.
Smart card. Salah satu tipe stored-value card yang didalamnya tertanam satu atau lebih chips atau microprocessors sehingga bisa menyimpan data, melakukan perhitungan, atau melakukan proses untuk tujuan khusus (misalnya validasi PIN, otorisasi pembelian, verifikasi saldo rekening, dan menyimpan data pribadi). Kartu ini bisa digunakan pada system terbuka (misalnya untuk pembayaran transportasi public) atau system tertutup (misalnya MasterCard atau Visa networks).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar